ASB Desak UU TPKS Digunakan di Kasus Kekerasan Seksual Anak


ASB melakukan konferensi pers terkait penanganan kasus pelecehan seksual.(f: amita/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Aliansi Sumut Bersatu (ASB) melakukan konferensi pers terkait penanganan kasus pelecehan seksual yang belum menggunakan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada dua kasus.
Direktur ASB, Ferry Wira Padang, mengatakan terdapat tiga korban dengan inisial AH, NI, dan SIF. Ketiga korban tersebut terbagi dalam dua kasus dengan dua terdakwa yang ditangani oleh Pengadilan Negeri (PN) Simalungun.
"Kita sudah berupaya dari pendampingan BAP, dan diragukan oleh Polres Simalungun. Kita meminta agar menggunakan UU TPKS, tapi hanya memakai UU Perlindungan Anak," katanya, Jumat (14/3/2025).
Artinya, lanjutnya, dari awal korban sudah dirugikan, karena tidak mendapat hak khususnya untuk pemulihan. Kasus pelecehan seksual inisial AH sudah dilaporkan pada 12 Mei 2024 di Polres Simalungun, sedangkan NI dan SIF melapor pada 11 September 2024.
"Dari ketiga korban tersebut, kita melihat vonis UU Perlindungan Anak, PN Simalungun sangat rendah. Terbukti tindak pidana kekerasan seksual yang dialami oleh anak di bawah umur, dengan pelakunya orang dewasa, tapi hanya menggunakan UU Perlindungan Anak bukan UU TPKS," ucapnya.
Kemudian, kasus dengan korban dilakukan oleh seorang pelaku berusia 60 tahun seorang pedagang. "Asumsi kami lebih dari dua, tapi yang mau melapor hanya dua. Pelecehannya dengan mengelus dan memegang alat kelamin, bahkan hingga pemerkosaan," ujar Ferry.
Perempuan yang kerap disapa Ira tersebut mengatakan, telah meminta menggunakan UU TPKS dan UU Perlindungan Anak, namun tidak menggunakan keduanya. "Akibatnya, korban tidak dapat mengajukan pemulihan dan tidak mendapatkan hak korban," tuturnya.
Menurutnya, Kejaksaan Negeri harus memastikan UU TPKS digunakan, karena itu menjadi wewenang dan tugasnya. "PN banyak yang perlu diperhatikan, yaitu proses pengadilan yang sifatnya tertutup justru malah dibuka, contohnya kasus pelecehan anak dan itu memprihatinkan," katanya.
Ira menegaskan, proses penegakan hukum harus memiliki perspektif korban, karena memang tugasnya agar korban bisa mendapat keadilan. "Harus menggunakan UU TPKS, karena UU tersebut melarang keras perdamaian," ucapnya.
Meski putusan tak dapat diubah, tapi menurutnya ini bisa menjadi pembelajaran bagi para penegak hukum di Kabupaten Simalungun berbenah diri dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak korban.
"Untuk kasus dengan dua korban tidak bisa melakukan banding, karena tidak berhasil menghubungi jaksa. Pada kasus AH juga sedikit sulit melakukan banding karena jaksa banyak alasan," ujarnya.
Ia berharap agar jaksa dapat melakukan banding karena saat ini kondisi psikolog korban cukup mengkhawatirkan. "Kita sudah kirim surat resmi untuk lakukan banding. Korban saat ini menjadi lebih pendiam dan pemalu. Bahkan ketika melihat orang dewasa, selalu mencari perhatian karena berharap ada yang akan melakukan hal serupa dilakukan terdakwa," tutur Ira. (amita/hm24)